Oleh: Fahriyanto S. Maso’ama (Anak Petani)
Pembangunan dan pertambangan bagaikan sendal jepit, tak identik namun selalu sejalan di setiap langkah. Meskipun begitu, antara sandal jepit kiri ataupun kanan bisa putus ditengah jalan. Bahkan, kalau dewi fortuna tidak sedang memihak, bisa saja kedua sendal tadi diambil orang lain.
Barangkali analogi sandal jepit sedikitnya bisa mengambarkan tentang kebijakan suatu daerah yang mengutamakan pembangunan berbasis pertambangan dan berbagai persoalan yang mencuat dalam sektor tambang.
Sederhananya, saat beroperasi pertambangan kerapkali menimbulkan polemik bahkan masyarakat di lingkar tambang tak jarang termarjinalkan, malahan sewaktu-waktu menjadi tumbal dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
Terlebih lagi, investor tambang sebut saja cukong dengan kekuatan fulus dapat menghalalkan segala cara untuk meraih hasil yang menggunung. Soal untung besar tentunya jadi prioritas. Pastinya dengan cara mengeruk lahan pertambangan secara serampangan. Sedangkan masyarakat lokal hanya kebagian sisa hasil tambang, hidup di tengah gemuruh alat berat yang menggusur tanah dan harapan.
Wacana pembangunan sering kali diidentikkan dengan eksploitasi sumber daya alam, terutama melalui industri pertambangan. Tidak sedikit daerah yang menggantungkan masa depan ekonominya pada aktivitas tambang, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta menarik investasi. Namun, pertanyaannya: benarkah tambang merupakan jalan utama menuju kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan?
Tambang Adalah Ilusi
Industri tambang memang menawarkan keuntungan ekonomis yang menggiurkan dalam jangka pendek. Penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, dan geliat ekonomi lokal sering dijadikan indikator keberhasilan. Tetapi, di balik angka-angka tersebut, kita juga harus melihat realitas di lapangan: konflik agraria yang tak kunjung selesai, kerusakan lingkungan yang masif, dan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang terlalu bertumpu pada tambang mengandung risiko besar, baik secara ekologis maupun sosial.
Permasalahan pertambangan telah menjadi penyakit kronis yang susah untuk disembuhkan. Kewajiban reklamasi kerap terlupakan, sehingga menyisahkan kolam raksasa di bekas lokasi pertambangan. Kecelakaan kerja pun selalu menghantui para penambang bahkan tanpa ada tanda peringatan bahaya kepada pekerja tambang. Oleh kaarena itu, tidak berlebihan jika beranggapan bahwa tambang adalah ilusi.
Masyarakat di sekitar tambang sering kali hanya menjadi penonton dalam drama kekayaan yang tak pernah mereka genggam, sementara lingkungan mereka perlahan kehilangan sumber air, udara bersih, dan tanah subur yang dulu memberi kehidupan.
Apa yang tampak sebagai berkah sesungguhnya adalah fatamorgana keuntungan sesaat yang menutupi kerugian jangka panjang bagi manusia dan bumi.
Kesejahteraan Berkelanjutan Jadi Solusi
Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga petani, saya menyaksikan secara langsung bahwa kehidupan yang sederhana namun selaras dengan alam mampu menciptakan ketahanan dan keberlanjutan jangka panjang. Pertanian, bila dikelola dengan baik, bukan hanya menyediakan pangan bagi masyarakat, tetapi juga membentuk nilai-nilai kehidupan: kerja keras, kesabaran, dan keselarasan dengan lingkungan. Di tengah krisis iklim dan degradasi ekologis, pertanian justru tampil sebagai sektor yang resilien dan berdaya tahan tinggi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan arah pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Pertanian, kelautan, dan energi terbarukan menawarkan potensi besar yang belum digarap secara maksimal. Investasi di sektor-sektor ini tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja yang luas, tetapi juga menjaga keberlangsungan lingkungan hidup serta memperkuat kedaulatan pangan nasional.
Namun, bukan berarti sektor tambang harus sepenuhnya dihindari. Eksploitasi tambang tetap dapat dilakukan, asalkan dengan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada masyarakat sekitar. Manfaat ekonominya harus jelas terukur: dari pendidikan, kesehatan, hingga jaminan sosial bagi masyarakat lingkar tambang. Selain itu, kontribusi riil terhadap PAD harus digunakan untuk memperkuat fondasi ekonomi lokal, bukan hanya untuk membiayai proyek-proyek jangka pendek.
Yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana menempatkan tambang dalam kerangka pembangunan yang lebih besar, yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial. Negara perlu memastikan bahwa sumber daya alam dikelola demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya keuntungan segelintir pihak.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Ia harus membangun dari akar—dari desa-desa, dari ladang dan laut, dari petani dan nelayan. Jika negara ini serius menata ulang prioritas pembangunannya, maka pertanian dapat menjadi tulang punggung ekonomi yang tak hanya produktif, tetapi juga lestari.
Menuju kesejahteraan berkelanjutan bukanlah mimpi utopis. Ia adalah pilihan rasional dan strategis. Kita hanya perlu keberanian untuk menempuh jalan yang berbeda: menempatkan manusia dan alam sebagai inti dari pembangunan. Sebab sejatinya, tambang bukan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Justru dengan merawat tanah, air, dan udara—kita sedang menanam masa depan yang adil dan lestari bagi generasi mendatang.
Baca juga : Bupati Resmi Cabut Usulan WP dan WPR di Parigi Moutong