Parigi Moutong, HALOSulteng – Pagi itu tidak seperti biasanya, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, aku terbangun karena dikejutkan alarm tepat jam 3. Sesaat diri ini terdiam sambil mengucap rasa syukur kepada sang Maha Rahman dan Maha Rahim karena masih diberi umur Panjang juga kesempatan bertemu dengan bulan yang lebih baik dari 1000 bulan. Marhaban ya Ramadhan.
Kalender menunjukkan tanggal 1 Maret 2025 M bertepatan pula 1 Ramadhan 1446 H, umat Islam di seluruh penjuru dunia mulai melaksanakan ibadah puasa hari ini. Dengan nada yang seakan berbisik memanggil nama isteri untuk segera bangun, berharap tidak mengganggu tidur lelap si buah hati yang baru berusia 3 tahun.
Perlahan ku langkahkan kaki untuk membasuh muka dan bersiap untuk santap sahur pertama. Ternyata ayah dan ibu mertua telah lebih dulu berada di meja makan.
Tak berselang lama terdengar suara gelak tawa puteri kecil yang kami beri nama Raya.
“Papa…Raya mau ikut sahur” teriaknya dengan nada lantang. Seketika nenek dan kakeknya tertawa mendengar ucapan Raya.
“Ayo sini” sahutku.
Dengan menu seadanya santap sahur dihari pertama serasa Istimewa. Setelah melaksanakan shalat subuh, Aku dan anakku bersama istri tersayang kembali tidur untuk mempersiapkan diri dalam menjalankan ibadah puasa esoknya.
Seperti biasa aku bangun lebih awal dari keduanya. Satu jam kemuadian, mereka terjaga dari tidurnya pada pukul 07.13 pagi.
Rasa cemas menyelimuti hati kecil ini, tanpa fikir Panjang segera ku tawari makan kepada Raya.
“Raya mau makan?” tanyaku. “Puasa tidak boleh makan” jawabnya dengan spontan. Itu kata yang kusampaikan sewaktu masih dimeja makan saat sahur.
Jarum jam kini menunjukkan pukul 09.00, dari kejauhan teriakan isteri memanggil nama anaknya untuk menawarkan makan.
“Raya mau makan?”tanya isteriku.
“Belum lapar Raya” jawabnya meski sedang sibuk memainkan boneka tepat berada disampingku.
Setengah jam berlalu, tiba-tiba Raya mendekat ke arahku yang sedari tadi sibuk dengan laptop, lalu berbisik ditelinga kananku.
“Papa, Raya haus”. Segera ku ambilkan segelas air putih dan mengingatkan membaca Basmalah sebelum minum.
Usai minum, dia kembali melanjutkan aktifitas bermain dengan beberapa boneka.
“Raya tidak lapar?” tanyaku dengan gelisah.
“Lapar sekali Raya” sambil memegangi perutnya. Ku beri tahu kepada isteri segera menyiapkan sarapan untuk Raya.
Lalu aku kembali ke kamar menemui Raya dan melanjutkan pekerjaan yang telah menumpuk.
Entah mengapa, sejenak teringat akan memori 30 tahun silam saat usiaku masih 7 tahun.
Ketika kedua orang tua mengajarkan kepada kami untuk berpuasa, untuk membiasakan diri hingga batas kemampuan menahan lapar dan dahaga meski hanya setengah hari.
Hari demi hari terus mengalami peningkatan meskipun hanya satu jam. Hari pertama bertahan sampai jam 10 pagi, hari berikutnya jam 11 dan begitu seterusnya hingga waktu magrib. Sampai saat ini momentum itu sangat membekas diingatanku.
Kini saatnya kebiasaan itu kuwariskan kepada anakku dengan harapan kelak akan terbiasa melakukan ibadah sejak dini hingga beranjak dewasa, dan kebiasaan ini pula dia wariskan kepada cucu-cucuku nanti. Karena sejatinya sesuatu yang luar biasa itu tercipta dari hal-hal kecil yang penuh makna.
Baca juga : Tambassu Sili : Hukum Adat untuk Pencemaran Nama Baik